Tuesday, February 10, 2009

Spouse

Akhirnya saya punya lampu baca lagi.
Sudah hampir 6 bulan lampu baca saya nggak diganti.
Alasannya sebenarnya klise, karena saya selalu lupa beli lampu pijarnya.
Dan semenjak itulah saya tidak lagi menulis dalam kegelapan di dalam kamar.
Maklum, anak saya tipe darklight lover..

Anyway...
Bulan Desember ini ada dua teman dekat yang mangakhiri masa lajangnya.
Wah, sangat amat bertepatan dengan bulan perayaan perkawinan saya.
Jadi bertanya-tanya, kenapa ya kok banyak yang mlih nikah di bulan Desember?
Padahal kan lagu jaman dulu itu, inget nggak, yang syairnya begini.

"Bulan ini Desember kedua aku menanti...."
Intinya bulan Desember itu kelabu...

Yah, info yang nggak penting sebenernya.
Tapi saya jadi terusik masalah perkawinan.Bagaimana rasanya kita berkomitmen untuk tetap setia berpuluh tahun lamanya terhadap satu orang.
Walopun tidak menutup kemungkinan saat ini perceraian itu marak dan mudah untuk dilakukan apalagi kalo kita jadi selebriti.
Wuih, pasti pamor tambah naik karena berita perkawinan yang hancur jadi bulan-bulanan infotainment.

Saya tidak berada dalam posisi bisa bercerita bagaimana rasanya menghabiskan waktu dalam suka dan duka dengan satu orang hingga akhir hayat.
Karena saya sedang menjalaninya.
Dan, menurut saya perkawinan itu adalah proses penerimaan suatu paket dengan segala nilai plus dari mulai isi paketnya, cara pengantarannya, bahasa yang dituliskan dalam surat pengantar, sampai yang paling sering menipu adalah kemasan paket itu sendiri.

Saya telat menyadari paket yang saya terima (ato tepatnya saya pilih) punya kelemahan dan kelebihan. Mungkin kelebihan itulah yang kita cari, tapi kelemahan, saya yakin jarang di antara kita yang sudah tahu dengan pasti dan mau menerima kenyataan bahwa paket kita punya kelemahan.

Kadang kala masih sulit juga untuk menerima dengan akal sehat kalo kita bisa bertahan dengan orang yang sama hingga akhir hayat. Tapi melihat apa yang telah dialami orangtua saya, saya bersyukur bahwa harapan telah memilih orang yang tepat itu ada. Dan mudah-mudahan jejak langkah perkawinan orang tua saya hingga akhir hayat diturunkan juga pada anaknya ini.

Saya juga sering bertanya-tanya bagaimana ya rasanya hidup tanpa pasangan?OK, kita tidak berbicara masalah kebutuhan lahir ataupun batin karena saya yakin hal itu bisa di atasi di zaman edan seperti sekarang.
Dengan catatan, anda sudah tidak mengikuti kaidah-kaidah ajaran agama.
Tapi, rasanya apa nggak hampa kalau pulang ke rumah tanpa tujuan, tanpa pengharapan, dan tanpa emosi????
Tapi, saya menghargai pilihan orang-orang itu. Karena saya yakin, merekalah yang lebih tahu diri mereka sendiri.

Tapi bagaiman dengan orang-orang yang belum dipertemukan dengan pasangannya?
Untuk urusan ini saya sama sekali tidak mau komentar banyak. Cuma Tuhan yang tahu jawabnya. Pasalnya, saya yakin 100% orang-orang itu tak putus sirundung keputusasaan, dan tak hentinya berdoa agar dipertemukan dengan pasangannya.

Tapi sekali lagi apa daya. hanya Dia yang tahu rencana yang pasti.

Lets take your spouse as a gift frm God, though its fragile, its broken, its unsealed, but knock..knock...you've got God's gift.

Monday, February 9, 2009

Ibu mertua, anak, dan pengasuh

Suatu ketika, saya dapet tugas dari atasan untuk ikut pelatihan penulisan di daerah puncak. Menurut jadwal, katanya sih dua hari yang mengharuskan saya untuk bermalam, padahal selama hampir 14 bulan saya tidak pernah tidur sendiri tanpa ditmani anak saya tercinta. Tapi, berhubung sudah lama nggak ikut pelatihan dan pengen punya ilmu baru, rasanya sayang kalo kesempatan ini dilewatkan. Apalagi suami saya dengan semangat 45nya memberikan anggukan setujunya. Katanya lagi suatu proses pembelajaran buat anak kami karena udah mulai besar. Yeah, I’m getting make any kind of excuse.

Saya di tempatkan bersama tiga orang wanita lain yang usianya sekitar 5-10 tahun lebih tua dari saya. Bahkan salah satu peserta dari institusi lain nggak nyangka kalo saya sudah merit dan punya satu anak. Inilah resiko berwajah baby look. Di tengah kegundahan saya, yang tetep mikirin anak nanti malem bisa tidur atau nggak tanpa ada kehadiran ibunya, saya terperangah dengan tetanggga bungalow yang saya tempati. Kebetulan bungalow itu juga diperuntukkan bagi peserta pelatihan.

Bungalow itu, sama seperti bungalow saya harusnya ditempati oleh 4 orang dengan dua bed ukuran double. Pada saat saya dan rekan2 satu bungalow mau keluar menuju ruang sidang tempat pelatihan berlangsung, kami bertegur sapa dengan rekan-rekan tetangga bungalow. Biasa, ini adat-istiadat standar. Tetapi alangkah terkejutnya saya pada saat mengintip ke bunglow tetangga itu. Tahukah anda dari bungalow itu keluar tiga perempuan yang saya yakini peserta pelatihan. OK, hal itu tentu wajar. Tapi ternyata di bungalow itu masih ada ibu-ibu berumur 50an yang saya yakini bukan peserta pelatihan karena menggendong anak bayi usia 8 bulanan, plus seorang mba-mba muda usia 17an yang saya yakini juga bukan peserta pelatihan kerana bawa-bawa jarik alias kain gendongan.

Oh my God...di tengah gundah gulanaku memikirkan ananda di rumah eh ternyata ada yang berinisiatif tinggi memboyong anggota keluarganya ke tempat pelatihan ini.Wah, hebat kan tipikal orang Indonesia, suka nya dodong-ptong rame-rame entah itu urusan suka-suka, belanja, merit, sidang sarjana, pacaran, putus cinta, ke rumah sakit, ato studi banding...pasti deh kalo bisa kakek, nenek, cucu, cicit,anak, kalo bisa dibawa ya dibawa pula.

Oh ya, saya juga makin terperangah begitu melihat sang peserta pelatihan yang bawa keluarga plus pengasuhnya itu, membawa pula keluarganya menikmati hidangan makan malam ,sarapan dan makan siang di tengah-tengah peserta pelatihan yang lain. Tapi ups, maaf untuk mbak-mbak yang bawa keluarganya itu, saya bukan suuzhon. Mungkin saja mbak itu sudah bayar charge yah ke panitia?

Dan lebih hebatnya lagi, saya sebagai orang Indonesia juga bisanya Cuma menggerutu ngomongin itu dengan peserta lain tanpa ngomong ke orang bersangkutan yang membawa ibu mertua, anak dan pengasuhnya.....