Friday, April 24, 2009

Suatu pagi di kereta

Seperti biasa, pagi itu saya sudah nangkring di kereta menuju tempat kerja.Dengan mata agak-agak berat karena kurang tidur tadi malam, saya berusaha tetap terjaga, berhubung kereta mulai penuh. Anda pasti sudah tahu kan, bagaimana tingkat kejahatan di negeri kita ini?Apalagi dengan dampak krisis global kayak sekarang, dengan banyaknya karyawan yang di-PHK, tentunya berkorelasi positif dengan tingkat kriminalitas. Dan saya, sangat tidak ingin kejadian tas di silet di kereta 2 tahun silam terulang.
Saya duduk di tempat yang tidak seharusnya, courtesy seat yang sebenarnya ditujukan untuk wanita hamil, lansia, anak-anak, dan orang-orang dengan kebutuhan khusus. Habis mau bagaimana lagi, rasanya sudah bayar lebih untuk AC, kok nggak duduk, dengan berat tas yang hampir setara dengan 3 kg telur, saya lebih memilih mengabaikan anjuran kegunaan courtesy seat.
Di samping kanan saya ada bapak-bapak di usia pertengahan 30-an, bertubuh besar, (ini sepertinya makan tempat duduk untuk dua orang deh), di kiri saya ada ibu-ibu yang juga tebakan saya pertengahan 30an, Di depan saya, courtesy seatnya sudah copot, jadilah orang-orang berdiri bergerumul di sana. Ada yang langsung “ngampar’ di lantai kereta tanpa alas, ada yang tetap berdiri sambil sandar ke jendela.
Saya tertarik dengan pemandangan di depan saya. Ada dua grup, yang kesemuanya saya tebak masih mahasiswa. Grup pertama agak ke kiri, ada 4 orang, dua laki-laki dan dua perempuan. Satu laki-laki bertubuh agak besar, satu lagi kurus,dan agak..maaf nih menurut saya melambai.Yang bertubuh gemuk sih sudah keliatan banget machonya, yang bertubuh kurus ini yang agak lucu. Lehernya penuh dengan kerokan, agak dramatis juga tampilan sudah gaol tapi badan banyak hasil kerokan.Yang perempuan yang satu cuek sekali, dengan tampilan kaos jins sepatu snickers butut belum dicuci, sedang yang lain so girly. Sang laki-laki kurus sudah sangat akrab dengan kedua teman perempuannya sampai dia meng’obok-obok’isi tas perempuan girlynya itu. Walhasil, keluarlah ada semacam kaos yang dibawa sang perempuan di tasnya. Si laki-laki kurus mengeluarkan kaos itu dan menyelendangkan di leher untuk menutupi hasil kerokan tadi malam. Haha, saya jadi tertawa dan memerhatikan mereka dengan serius sekali. Obrolan renyah, khas anak muda, nggak mikirin pahitnya hidup. Masih hijau, belum banyak pertimbangan.
Tiba-tiba saya jadi teringat teman-teman semasa kuliah sarjana. Wah, dulu saya kayak begitu ya ternyata?Haha-hihi nggak karuan, pasti mengundang mata-mata untuk memandang.Kalau nggak suntuk sih lumayan pandangan yang dilemparkan biasa aja, malah cenderung ingin curi dengar, lagi gossip apa sih nih?Tapi kalo pandangan nya datang dari orang suntuk, wuah pasti wajahnya terlihat seram, kesal, ingin nampar rasanya. Kelakuan teman-teman saya juga pasti sama tuh jaman dulu. Saya ingat, bahkan kami pernah patungan beli es doger yang harganya Cuma 1500 saat itu. Bukan karena nggak punya duit, tapi asas kebersamaan, yang bikin patungan 1500 dibagi 5 sampai 6 ornag itu jadi seru. Adalagi, teman saya pernah ditantang untuk keliling kantin fakultas yang rame banget dengan memakai liontin jam berdiameter hampir 7 cm. Tapi teman saya PD aja tuh,jadilah dia keliling kantin bak Heidy Klum lagi di Catwalk. Lain hari lagi, kami sepakat pakai seragam, kemeja putih dan ceana jeans biru,ujung-ujungnya kami foto-foto di sepanjang taman rektorat yang terkenal puanas hampir menyamai gurun sahara di siang bolong.
Nah, di grup lain ada sepasang laki-laki dan perempuan yang tetap berdiri, ngobrol ngalor0ngidul tapi dengan lebih sedikit formal dibandingkan grup yang satunya. Mereka juga nggak haha-hhi cenderung ngobrol biasa. Saya sih nggak tahu apa tema obrolannya. Tapi ini juga mengingatkan saya akan teman satu organisasi di waktu kuliah dulu. Nah, beda dengan teman nongkrong, teman organisasi lebih syarat banyak yang calm, cool, n confidence. Walaupun banyak juga temen yang heboh.
Saya jadi bersyukur, saya bisa menempatkan diri dengan baik di kalangan teman-teman dengan beda karakter.Kuncinya Cuma satu kali ya, yakni penghargaan untuk orang lain, sehingga automatically saya akan menghargai diri saya sendiri.
How I miss all of my friends.

Suatu pagi di kereta

Seperti biasa, pagi itu saya sudah nangkring di kereta menuju tempat kerja.Dengan mata agak-agak berat karena kurang tidur tadi malam, saya berusaha tetap terjaga, berhubung kereta mulai penuh. Anda pasti sudah tahu kan, bagaimana tingkat kejahatan di negeri kita ini?Apalagi dengan dampak krisis global kayak sekarang, dengan banyaknya karyawan yang di-PHK, tentunya berkorelasi positif dengan tingkat kriminalitas. Dan saya, sangat tidak ingin kejadian tas di silet di kereta 2 tahun silam terulang.
Saya duduk di tempat yang tidak seharusnya, courtesy seat yang sebenarnya ditujukan untuk wanita hamil, lansia, anak-anak, dan orang-orang dengan kebutuhan khusus. Habis mau bagaimana lagi, rasanya sudah bayar lebih untuk AC, kok nggak duduk, dengan berat tas yang hampir setara dengan 3 kg telur, saya lebih memilih mengabaikan anjuran kegunaan courtesy seat.
Di samping kanan saya ada bapak-bapak di usia pertengahan 30-an, bertubuh besar, (ini sepertinya makan tempat duduk untuk dua orang deh), di kiri saya ada ibu-ibu yang juga tebakan saya pertengahan 30an, Di depan saya, courtesy seatnya sudah copot, jadilah orang-orang berdiri bergerumul di sana. Ada yang langsung “ngampar’ di lantai kereta tanpa alas, ada yang tetap berdiri sambil sandar ke jendela.
Saya tertarik dengan pemandangan di depan saya. Ada dua grup, yang kesemuanya saya tebak masih mahasiswa. Grup pertama agak ke kiri, ada 4 orang, dua laki-laki dan dua perempuan. Satu laki-laki bertubuh agak besar, satu lagi kurus,dan agak..maaf nih menurut saya melambai.Yang bertubuh gemuk sih sudah keliatan banget machonya, yang bertubuh kurus ini yang agak lucu. Lehernya penuh dengan kerokan, agak dramatis juga tampilan sudah gaol tapi badan banyak hasil kerokan.Yang perempuan yang satu cuek sekali, dengan tampilan kaos jins sepatu snickers butut belum dicuci, sedang yang lain so girly. Sang laki-laki kurus sudah sangat akrab dengan kedua teman perempuannya sampai dia meng’obok-obok’isi tas perempuan girlynya itu. Walhasil, keluarlah ada semacam kaos yang dibawa sang perempuan di tasnya. Si laki-laki kurus mengeluarkan kaos itu dan menyelendangkan di leher untuk menutupi hasil kerokan tadi malam. Haha, saya jadi tertawa dan memerhatikan mereka dengan serius sekali. Obrolan renyah, khas anak muda, nggak mikirin pahitnya hidup. Masih hijau, belum banyak pertimbangan.
Tiba-tiba saya jadi teringat teman-teman semasa kuliah sarjana. Wah, dulu saya kayak begitu ya ternyata?Haha-hihi nggak karuan, pasti mengundang mata-mata untuk memandang.Kalau nggak suntuk sih lumayan pandangan yang dilemparkan biasa aja, malah cenderung ingin curi dengar, lagi gossip apa sih nih?Tapi kalo pandangan nya datang dari orang suntuk, wuah pasti wajahnya terlihat seram, kesal, ingin nampar rasanya. Kelakuan teman-teman saya juga pasti sama tuh jaman dulu. Saya ingat, bahkan kami pernah patungan beli es doger yang harganya Cuma 1500 saat itu. Bukan karena nggak punya duit, tapi asas kebersamaan, yang bikin patungan 1500 dibagi 5 sampai 6 ornag itu jadi seru. Adalagi, teman saya pernah ditantang untuk keliling kantin fakultas yang rame banget dengan memakai liontin jam berdiameter hampir 7 cm. Tapi teman saya PD aja tuh,jadilah dia keliling kantin bak Heidy Klum lagi di Catwalk. Lain hari lagi, kami sepakat pakai seragam, kemeja putih dan ceana jeans biru,ujung-ujungnya kami foto-foto di sepanjang taman rektorat yang terkenal puanas hampir menyamai gurun sahara di siang bolong.
Nah, di grup lain ada sepasang laki-laki dan perempuan yang tetap berdiri, ngobrol ngalor0ngidul tapi dengan lebih sedikit formal dibandingkan grup yang satunya. Mereka juga nggak haha-hhi cenderung ngobrol biasa. Saya sih nggak tahu apa tema obrolannya. Tapi ini juga mengingatkan saya akan teman satu organisasi di waktu kuliah dulu. Nah, beda dengan teman nongkrong, teman organisasi lebih syarat banyak yang calm, cool, n confidence. Walaupun banyak juga temen yang heboh.
Saya jadi bersyukur, saya bisa menempatkan diri dengan baik di kalangan teman-teman dengan beda karakter.Kuncinya Cuma satu kali ya, yakni penghargaan untuk orang lain, sehingga automatically saya akan menghargai diri saya sendiri.
How I miss all of my friends.

Monday, April 20, 2009

migrain attack

Saya baru menyadari kalau saya punya bakat migrain pada waktu kuliah sarjana di medio Agustus 2004. Waktu itu lagi pusing-pusingnya buat tugas akhir yang sepertinya sangat melenceng dengan jurusan yang saya ambil, Teknologi Pangan. Tapi akibat pemaksaan ide (maksudnya nggak punya ide lagi karena kalau ide sendiri harus biaya sendiri sedangkan saat itu ada tawaran riset dari pembimbing yang menggratiskan dana penelitian, mari kita hajar bleh..begitu), mau tidak mau saya lakoni penelitian yang membuat saya punya symptomps baru itu.

Migrain itu menghantui setiap hari selama kurang lebih satu bulan, dengan instensitas naik turun mengikuti perkembangan kemajuan psikis saya menghadapi penulisan skripsi. Pada saat itu, saya tidak cukup peka untuk tahu kalo ternyata kopi bisa menambah rasa sakit migren, dan ditambah lagi saya ogah mengkonsumsi painkiller untuk migrain.Takut ketergantungan.jadilah saya tetap caffeine addict.

Selepas sarjana, migren tak lagi sering datang, hanya sesekali kalau dalam keadaan underpressure atau kepanasan kena terik matahari. Tapi kalao alasan terakhir rasanya lumayan bisa hilang dengan cukup istirahat, kalo stress hhhmmmm tidak bisa hilang hanya dengan tidur...

hampir lima tahun berlalu, paska penulisan skripsi, saya dihadapkan lagi pada penulisan thesis. Alhamduliah, migren tak lagi menyambangi kepala ini, mungkin karena faktor emosi dan penguasaan terhadap materi penlitian yang lebih greng kayaknya..Saya berpikir, sejatinya sang migren sudah benci pada saya, karena saya bisa tergolong wanita sehat, aktif dan bukan perokok atau minuman beralkohol...Tapi....apadikata

Saat ini sudah hampir 2 minggu, sang migren sedang asik2nya di kepala dengan lokasi yang nomad.HHmmmm, bahkan saat ini sudah stadium agak parah, karena menyerang mata, apalgi bila habis bekerja di depan laptop. Tak ayal, pemicu utama antara lain kondisi ekonomi yang lagi morat-marit akibat subprime mortage, dan daftar hutang yang makin panjang..(seperti Indonesia tentunya).. Tapi sedikit kelegaan, karena hutang yang ditambahkan adalah hutang produktif yang insya Alloh membawa nilai lebih dikemudian hari. Selain hutang, bayang-bayang pendidikan anak sudah di depan mata,mmmmhhh,,,
sudah ada perencanaan kalau anak sebaiknya dapat beasiswa untuk sekolah di stanford, cambridge, john hopkins, atau oxford sekalian, biar ayah bundanya nggak pusing tujuh keliling...

Anyway, saya mensyukuri migren ini.

Tuesday, February 10, 2009

Spouse

Akhirnya saya punya lampu baca lagi.
Sudah hampir 6 bulan lampu baca saya nggak diganti.
Alasannya sebenarnya klise, karena saya selalu lupa beli lampu pijarnya.
Dan semenjak itulah saya tidak lagi menulis dalam kegelapan di dalam kamar.
Maklum, anak saya tipe darklight lover..

Anyway...
Bulan Desember ini ada dua teman dekat yang mangakhiri masa lajangnya.
Wah, sangat amat bertepatan dengan bulan perayaan perkawinan saya.
Jadi bertanya-tanya, kenapa ya kok banyak yang mlih nikah di bulan Desember?
Padahal kan lagu jaman dulu itu, inget nggak, yang syairnya begini.

"Bulan ini Desember kedua aku menanti...."
Intinya bulan Desember itu kelabu...

Yah, info yang nggak penting sebenernya.
Tapi saya jadi terusik masalah perkawinan.Bagaimana rasanya kita berkomitmen untuk tetap setia berpuluh tahun lamanya terhadap satu orang.
Walopun tidak menutup kemungkinan saat ini perceraian itu marak dan mudah untuk dilakukan apalagi kalo kita jadi selebriti.
Wuih, pasti pamor tambah naik karena berita perkawinan yang hancur jadi bulan-bulanan infotainment.

Saya tidak berada dalam posisi bisa bercerita bagaimana rasanya menghabiskan waktu dalam suka dan duka dengan satu orang hingga akhir hayat.
Karena saya sedang menjalaninya.
Dan, menurut saya perkawinan itu adalah proses penerimaan suatu paket dengan segala nilai plus dari mulai isi paketnya, cara pengantarannya, bahasa yang dituliskan dalam surat pengantar, sampai yang paling sering menipu adalah kemasan paket itu sendiri.

Saya telat menyadari paket yang saya terima (ato tepatnya saya pilih) punya kelemahan dan kelebihan. Mungkin kelebihan itulah yang kita cari, tapi kelemahan, saya yakin jarang di antara kita yang sudah tahu dengan pasti dan mau menerima kenyataan bahwa paket kita punya kelemahan.

Kadang kala masih sulit juga untuk menerima dengan akal sehat kalo kita bisa bertahan dengan orang yang sama hingga akhir hayat. Tapi melihat apa yang telah dialami orangtua saya, saya bersyukur bahwa harapan telah memilih orang yang tepat itu ada. Dan mudah-mudahan jejak langkah perkawinan orang tua saya hingga akhir hayat diturunkan juga pada anaknya ini.

Saya juga sering bertanya-tanya bagaimana ya rasanya hidup tanpa pasangan?OK, kita tidak berbicara masalah kebutuhan lahir ataupun batin karena saya yakin hal itu bisa di atasi di zaman edan seperti sekarang.
Dengan catatan, anda sudah tidak mengikuti kaidah-kaidah ajaran agama.
Tapi, rasanya apa nggak hampa kalau pulang ke rumah tanpa tujuan, tanpa pengharapan, dan tanpa emosi????
Tapi, saya menghargai pilihan orang-orang itu. Karena saya yakin, merekalah yang lebih tahu diri mereka sendiri.

Tapi bagaiman dengan orang-orang yang belum dipertemukan dengan pasangannya?
Untuk urusan ini saya sama sekali tidak mau komentar banyak. Cuma Tuhan yang tahu jawabnya. Pasalnya, saya yakin 100% orang-orang itu tak putus sirundung keputusasaan, dan tak hentinya berdoa agar dipertemukan dengan pasangannya.

Tapi sekali lagi apa daya. hanya Dia yang tahu rencana yang pasti.

Lets take your spouse as a gift frm God, though its fragile, its broken, its unsealed, but knock..knock...you've got God's gift.

Monday, February 9, 2009

Ibu mertua, anak, dan pengasuh

Suatu ketika, saya dapet tugas dari atasan untuk ikut pelatihan penulisan di daerah puncak. Menurut jadwal, katanya sih dua hari yang mengharuskan saya untuk bermalam, padahal selama hampir 14 bulan saya tidak pernah tidur sendiri tanpa ditmani anak saya tercinta. Tapi, berhubung sudah lama nggak ikut pelatihan dan pengen punya ilmu baru, rasanya sayang kalo kesempatan ini dilewatkan. Apalagi suami saya dengan semangat 45nya memberikan anggukan setujunya. Katanya lagi suatu proses pembelajaran buat anak kami karena udah mulai besar. Yeah, I’m getting make any kind of excuse.

Saya di tempatkan bersama tiga orang wanita lain yang usianya sekitar 5-10 tahun lebih tua dari saya. Bahkan salah satu peserta dari institusi lain nggak nyangka kalo saya sudah merit dan punya satu anak. Inilah resiko berwajah baby look. Di tengah kegundahan saya, yang tetep mikirin anak nanti malem bisa tidur atau nggak tanpa ada kehadiran ibunya, saya terperangah dengan tetanggga bungalow yang saya tempati. Kebetulan bungalow itu juga diperuntukkan bagi peserta pelatihan.

Bungalow itu, sama seperti bungalow saya harusnya ditempati oleh 4 orang dengan dua bed ukuran double. Pada saat saya dan rekan2 satu bungalow mau keluar menuju ruang sidang tempat pelatihan berlangsung, kami bertegur sapa dengan rekan-rekan tetangga bungalow. Biasa, ini adat-istiadat standar. Tetapi alangkah terkejutnya saya pada saat mengintip ke bunglow tetangga itu. Tahukah anda dari bungalow itu keluar tiga perempuan yang saya yakini peserta pelatihan. OK, hal itu tentu wajar. Tapi ternyata di bungalow itu masih ada ibu-ibu berumur 50an yang saya yakini bukan peserta pelatihan karena menggendong anak bayi usia 8 bulanan, plus seorang mba-mba muda usia 17an yang saya yakini juga bukan peserta pelatihan kerana bawa-bawa jarik alias kain gendongan.

Oh my God...di tengah gundah gulanaku memikirkan ananda di rumah eh ternyata ada yang berinisiatif tinggi memboyong anggota keluarganya ke tempat pelatihan ini.Wah, hebat kan tipikal orang Indonesia, suka nya dodong-ptong rame-rame entah itu urusan suka-suka, belanja, merit, sidang sarjana, pacaran, putus cinta, ke rumah sakit, ato studi banding...pasti deh kalo bisa kakek, nenek, cucu, cicit,anak, kalo bisa dibawa ya dibawa pula.

Oh ya, saya juga makin terperangah begitu melihat sang peserta pelatihan yang bawa keluarga plus pengasuhnya itu, membawa pula keluarganya menikmati hidangan makan malam ,sarapan dan makan siang di tengah-tengah peserta pelatihan yang lain. Tapi ups, maaf untuk mbak-mbak yang bawa keluarganya itu, saya bukan suuzhon. Mungkin saja mbak itu sudah bayar charge yah ke panitia?

Dan lebih hebatnya lagi, saya sebagai orang Indonesia juga bisanya Cuma menggerutu ngomongin itu dengan peserta lain tanpa ngomong ke orang bersangkutan yang membawa ibu mertua, anak dan pengasuhnya.....

Tuesday, December 23, 2008

My Idea of living

When I was a child, I used to have an idea of my next life. In the elementary grade, I dream of becoming a teacher.What a noble idea of living. At that time I wonder, how precious that job compare to others like doctor, architect, police woman, and any idea of a child's dream.

Growing older,in junior high I've changed my idea of living, since everybody said it was a noble idea with a very low income. Contrary to the raise of age, I couldnt even explit my own idea. So at that time I just answer i want to be rich and smart. (what a lovely idea..:P)

In senior high, suddenly i got my very best idea. Stimulated by many ER series I watched, I had my will to become an internist. That silly fool stimulation almost separate me and my family thousand miles away just to run after my sillyfoolchildish love (gosh..how stupid I was at that time and thank God He didnt let me be more fool than ever). But, still it was a very noble idea i ever had. Though I was rejected by the university I still had that idea in mind.

In college, suddenly I becoming fooler than ever before with having no idea at all. Maybe because I should face reality that I change my lines from internist to some food technologyst which I dont even bother in what field would I work.The fact (which everyone's tellin me my major is the best in SouthEast Asia...you may dont believe it...neither do I, concerning how stupid I am in my own food tech field..:P) was make my heart relieves (or ought to relieve) that I wont be a jobbles woman..(though it is not the idea of mine)

Then..there I was...Applying my food tech filed for about 10 months in some foreigner company that I really2 felt imperialized. So..again my ideal idea of living changing my lines into some field that i really2 negelected before..a research...(what a fool I am, concerning i got less paid,lot kilometers should be travelled, and heavier working load)...


Now, here I am. Already obtained my master degree and starting to become biologist. What a very unepredictable title I ever think of. However, for billion times in my whole life, I thank God to make it my path. There were a lot of things I had in mind which made me wiser than before. If only I took Biology as my graduate program before, I might believe that I become food technologist now.

Ke sekolah…

Kalau anda berpikir ini adalah cerita saya waktu ke sekolah dulu, salah besar.
Rasanya sudah cukup 22 tahun saya berkutat dengan sekolah yang saya yakin banyak cerita yang lebih seru dibandingkan dengan cerita sekolah saya.
Sebenarnya orang-orang tua zaman dahulu itu bener-bener mumpuni di bidang pepatah, pameo, metafora, dan gaya bahasa yang lain deh. Posting saya ini yang kan mmbuktikannya.
Suatu pagi di musim panas 2006, saya berada di Lindau, kota kecil di sebelah selatan Jerman. Waktu itu, saya sedang mengikuti pertemuan tahunan penerima hadiah Nobel.
Nah, Lindau punya sideview yang bagus banget karena deket sama Lake Constance yang dari tepiannya kita bisa lihat langsung Austria dan Swiss. Acara pagi tiu baru mulai jam 9, tapi jam 6.30 saya sudah nongol di Insenhalle. Karena masih tutup, akhirnya saya putuskan untuk ke Lake Constance yang jaraknya mungkin cuma 10 menit jalan kaki dari Insenhalle. Kapan lagi sih bisa sightseeing liat tiga Negara dari satu point di tengah-tengah eropa gitu loh….(perlu dicatat, saya bukan traveler apalagi backpacker)
Tapi, berhubung jalan-jalan di Lindau tidak seperti gang-gang di Jakarta atau Bogor, setelah hampir 15 menit berjalan saya nggak nemu-nemu tuh dermaga Lake Constance. Karena sudah desperado, saya memutuskan mengikuti kerumunan anak-anak yang membawa tas dengan asumsi pasti mereka mau ke Lake Constance, karena ini kan summer nggak mungkin ada sekolahan yang masih buka.

Sudah 15 menit mengikuti anak-anak itu, dan ternyata…Yup…saya ke sekolah…How silly I am. Kata teman saya yang orang Jerman, memang disana libur sekolah telah dua minggu dari datangnya libur summer. Dengan serta merta saya balikkan badan kembali untuk ke Insnhalle, yang saat itu sudah mulai buka.